Noah’s Barn
Akhirnya kota Bandung punya cafe yang layak jadi kebanggan urang salembur, Noah’s Barn namanya, dan saya mengajak Anda untuk berkunjung ke tempat yang baru saja dibuka kurang dari sebulan. Dibidani oleh Henky Suhendro (31) dan Guido Mariotti (25) setelah mereka berdua melakukan kontemplasi cukup panjang untuk menawarkan konsep cafe buat siapa saja yang yang ingin secara khusyuk menikmati sajian kopi dalam sebuah wisata aroma dan rasa di kota Bandung. Saya persembahkan Noah’s Barn !
Lokasi cafe di kota Bandung biasanya banyak bertebaran di bagian Utara kota ini seperti kawasan Dago, tapi Noah’s Barn justru berani membuka di tempat yang justru jarang diminati orang, tepatnya di jalan Nurtanio (Garuda) no 39, sebuah kawasan Barat kota Bandung. Di tempat yang dimiliki oleh Guido dengan ukuran sekitar 3 x 6 meter dalam bentuk ruko ini keduanya langsung menyajikan konsep butik kopi dengan peralatan yang merepresentasikan citra yang ingin mereka bangun dengan ikon utama mesin espresso merek Synesso tipe Hydra.
Mesin yang dilengkapi dengan seabreg fitur seperti pressure ramping, steam wand yang tak pans karena double insulated, tekanan pompa yang bisa diatur, pre infuser, serta 3 perangkat pompa yang harus dipasang di bagian luar mesin untuk mendistribusikan air ke boiler dan dua group head-nya. Pressure Ramping sebagaimana yang tertera dalam manualnya adalah sebuah mekanisme untuk mem-fine tune sebuah ekstraksi kopi pada mesin espresso dengan variable tekanan air yang berbeda.
Buat Guido, Synesso adalah standard yang membuat Barista diberikan kebebasan untuk melakukan banyak eksperimen terutama pressure yang bisa diatur melalui panel elektroniknya. Misalnya tekanan pertama yang saat itu ia gunakan adalah 3 bar, lalu naik menjadi 9, turun ke 7 dan akhirnya 0, dan secangkir espresso pun tersaji.
Walau demikian Guido tak terlalu memusingkan waktu ekstraksi kopinya dan ia tak enggan untuk melabrak pakem. “Empat puluh detik pun selama kopinya bisa lebih mengeluarkan aroma cokat dan menekan acidity-nya, tentu tak ada salahnya” ujar lajang lulusan ekonomi ini.
Saya dan rekan disuguhi secangkir kopi import dari Jepang dengan merek Streamer yang diseduh dengan syphon, sebuah alat yang sering digunakan oleh Guido. “Tentu saja setiap kopi akan punya rasa yang berbeda bila diseduh dengan cara lain” katanya. Guido menunggu hingga air mulai mengalir ke bagian atas, lalu ia menuang bubuk kopi dengan waktu seduh 42 detik. Secangkir Streamer dari Jepang yang dipenuhi oleh aroma dan rasadark chocolate dan karakter body yang tebal merupakan sajian favorit saya di sore itu bersama rekan Zamzam, Andy Kho, dan Yunus dari Roswell Coffee.
Espresso nya pun tak kalah menarik yang merupakan racikan dari roaster lokal dan membuatnya menjadi lebih kaya dari sisi rasa termasuk racikan kopi Italia yang kami coba saat itu. Noah’s Barn sudah menjanjikan pengalaman menikmati kopi pada tahapan di mana konsumen akan diajak menjelajahi kekayaan olfactory mereka.
Walau saya menggolongkannya sebagai butik kopi, tapi harga di Noah’s Barn hanya berkisar pada 13 (espresso) hingga 18 ribu (cappuccino/latte tanpa sirup), tak terlalu mahal bukan ? Berdiri di atas bangunan yang tak terlalu luas, namun Noah’s Barn cukup menyajikan atmosfir menyenangkan dengan interior warehouse like dengan warna coklat dan natural. Ambien nya sangat bersahabat terutama saat matahari bersinar cerah di sore hari saat saya mengabadikan foto-foto untuk artikel ini.
Para pecinta kopi tentu akan menyambut dengan antusias kehadiran Noah’s Barn walau kapasitas ruangnya yang tak terlalu besar. Saya tentu berharap mereka akan tetap setia dengan konsep yang ditawarkan, sebuah tempat kopi yang benar-benar memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk berpetualang menikmati secangkir kopi lalu bisa berdiskusi hangat bersama Guido dan Henky tentang kekayaan rasanya – di kota Bandung, Noah’s Barn menawarkan itu.
Die to visit ?
* * *
inisiatif berdua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar